Kamis, 30 Juni 2016

aqidah akhlak semester 1 tarbiyah



BAB I
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERCAYAAN MANUSIA TERHADAP TUHAN
Tanggapan seseorang tentang tuhan berbeda antara satu orang dengan yang lain  (sangat tergantung pada kemampuan berfikir). Keinginan untuk menyembah atau mengabdi sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia yang membedakan adalah cara pengungkapanya (sangat tergantung pada kualitas pribadi manusia itu masing masing).
Pengelompokan agama di bagi menjadi (2) kelompok ;
1)      Revelead religion (agama samawi)
2)      Agama alamiah (agama budaya)
Kepercayaan masyarakat primitif ;
1)      Paham animisme
2)      Paham dinamisme
3)      Paham polytheisme
4)      Paham henotheisme
5)      Paham monotheisme
Perkembangan ilmu pengetahuan membawa kemajuan yang berdampak positif, namun memunculkan paham paham yang mengarah kepada hilangnya kepercayaan terhadap tuhan sebagai penguasa alam. Paham itu yaitu ;
1)      Paham naturalis
2)      Paham atheisme
3)      Paham agnotheisme
Tuhan dalam Al-Qur’an di sebut dengan beberapa cara, terkadang di sebut dengan Allah, ataupun Rabbun, pada kesempatan lain di sebut dengan menggunakan ar Rahman, ar-Rahim, al Malik dan sebagainya.
Tuhan di dalam al-Qur’an tidak di gambarkan secara fisik, material, karena Dia bukan materi. Dalam hal ini manusia dengan segala keterbatasannya tidak mungkin dapat mengukur tuhan dengan pendekatan material. Oleh karena itu, guna membantu manusia agar dapat memahami eksistensi Tuhan, dengan segala kasih sayang Nya, Tuhan memperkenalkan diri melalui sifat sifat Nya. Memahami sifat tuhan sebagaimana yang di sajikan dalam alQur’an hendaknya di lihat secara totalitas, di letakkan secar objektif dan di kaitkan satu sama lain. Inti konsepsi dari ayat al Qur’an yang berbicara tentang tuhan yaitu keEsaan Tuhan, yang meliputi ;
1)      Esa dalam sifat
2)      Esa dalam zat
3)      Esa dalam perbuatan
Ilmu tauhid merupakan induk bagi semua ilmu pengetahuan dalam agama islam. Yang membicarakan masalah keyakinan terhadap tuhan berdasarkan AlQur’an dan asSunnah.
Macam macam tauhid ;
1)      Tauhid rububiyah
Meyakini bahwa Allah sebagai satu satunya Rabb
2)      Tauhid Mulkiyah
Mengimani Allah sebagai satu-satunya Malik
3)      Tauhid Ilahiyah
Mengimani Allah sebagai satu-satunya Illah.

Konsep keEsaan Tuhan dalam al-Qur’an, bertalian dengan konsep kesatuan dalam semua sistem ciptaan-Nya. Sehingga pandangan yang di introduksi oleh al Qur’an, bukan hanya tentang keEsaan tuhan, melainkan juga keEsaan dalam sistem semesta alam manusia dan hukum yang mengatur keharmonisannya.inilah konsep monotheisme murni yang kokoh, yang hanya di miliki oleh ajaran agama islam.
Konsekwensi beriman kepada tuhan di harapkan dapat mendorong manusia agar dalam segala aktivitasnya di dunia ini termasuk dalam pemanfaatan alam harus didasarkan pada hukum tuhanyang di perlihatkan kepada ciptaanya-Nya. Dengan demikian konsepsi iman membawa manusia hidus bebad merdeka dan bertanggung jawab. Di dini manusia akan memiliki tempat bergantung dan mengabdi kepada Tuhan. melalui iman kepada Allah ia memperoleh tujuan dan jalan hidupnya yang harus ia tempuh. Karena itu dalam al Qur’an konsep iman bukan hanya merupakan dogma yang statis, melainkan sumber motivasi yang amat dahsyat, rasional dan objektif. Tanpa iman manusia akan kehilangan motivasi dan membawa ia rugi dunia akhirat.


 
BAB II
MAKNA IMAN DALAM ISLAM
Iman adalah pembenaran dan pernyataan yang di ucapkan dengan lisan dan di buhulkan dalam hati, di wujudkan dalam perbuatan. Puncak iman kepada Allah addalah zuhud dan wira’i di tenggah nya adalah taat dan yaqin. Dan taqwa merupakan bukti dari iman yang kuat (patuh pada aturan Allah).
Inti ajaran dalam agama adalah iman. Inti dari iman adalah bertauhid kepada Allah. Jadi, jika iman seseorang telah sempurna dan bertauhid maka akan lahir rasa cinta kepada Allah, taat, patuh dan takut. Hal inilah yang melahirkan sikap wira’ dalam diri seorang muslim.



BAB III
WAWASAN AL-QUR’AN TENTANG MANUSIA

Manusia adalah mahluk yang paling unggul di antar mahluk lain yang di ciptakan oleh Allah SWT. manusia di bekali kebebasan untuk menentukan pikiran kepada Allah, sedang makhluk lain tidaknmampu menentukan pikirannya. Pengertian manusia sendiri sangatlah beragam. Dalam al-Qur’an ada tiga istilah yang mengacu pada makna pokok manusia ;
a)      Al-Basyar
Manusia adalah mahluk biologis yang memerlukan makan, minum, seks, dan lain lain.
b)      Al-Insan
o   Insan sebagai khalifah
o   Insan sebagai predisposisi negatif dalam diri manusia
o   Dalam proses penciptaanya
c)      An-Nas
Menunjukkan pada kelompok atau golongan manusia
Status manusia sebagai khalifah dapat di ukur dari sejauh mana ia dapat melakukan kekhalifahanya itu. Dalam melaksanakan fungsi kekhalifahan, manusia di minta agar melakukan sikap yang bertanggung jawab, karena itu manusia di perintahkan berpegang teguh pada kebenaran dan tidak menuruti hawa nafsu. Manusia di ciptakan oleh Allah hanya memiliki satu periode dalam kehidupannya, yaitu periode beribadah kepada Allah.
Hakikat ibadah kepada Allah yaitu ;
a.       Melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi segala laranganNYA.
b.      Selalu berkata “insyaAllah” dalam seluruh rencana dan aktivitas yang di lakukan.
c.       Memberikan apa saja saat kepentingan Allah menghendaki.


BAB IV
BEBERAPA HAL YANG BERTENTANGAN DENGAN TAUHID
Hal yang bertentangan dengan tauhid adalah semua perilaku yang keluar dari kerangka tauhid atau tidak membuat seseorang masuk ke dalam penganut tauhid. Yaitu seperti murtad. Dan beberapa hal yang bertentangan dengan tauhid dan kesempurnaan tauhid;
a.       Syirik
Yaitu menyamakan sesuatu selain Allah dengan Allah pada apa yang menjadi kekhususan Allah.
b.      Kufur
Yaitu mengingkari suatu bagian dari ajran islam dimana tanpa bagian itu keislaman seseorang menjadi tidak sempurna.
c.       Nifaq.

Perpecahan dalam tubuh umat islam banyak di sebabkan oleh fitnah kaum munafiqin, yaitu ;
a)      Menghilangkan kepercayaan kepada para sahabat Rasulullah.
b)      Merusak validitas sumber sumber islam yang asli (Al-Qur’an dan as-Sunnah) serta metode penerimaan ajaran islam.
c)      Menghancurkan islam secara parsial maupun keseluruhan.
d)      Menyebarkan rasa permusuhan dan perpecahan dalamm tubuh umat islam.
e)      Membatalkan konotasi nash nash wahyu atas hakikat islam.




BAB V
IMAN KEPADA HARI AKHIR
Beriman kepada hari akhir adalah konsekuensi logis dari beriman kepada Allah, RasulNYA, beserta wahyu yang di bawanya.Segala bentuk amal perbuatan manusia akan di hisab atau di perhitungkan di hari akhir, jadi kehidupan manusia di hari akhir di tentukan oleh amal perbuatan yang di lakukan selama di dunia.
Akal manusia bebas menentukan apakah dia menjadi seorang muslim aatau kafir, oleh karena itu manusia harus percaya dan berpegang teguh terhadap ajaran agama yang di turunkan oleh Allah.
Di dalam Al-Qur’an Allah telah menjelakan tentang hari akhir. Lebih dari dua ratus ayat yang menerangkan tentang fenomena alam dan kejadian yang berhubungan dengan hari akhir.
Perjalanan kehidupan di akhirat akan melalui fase-fasse berikut ini;
a.       Jagad raya dan seluruh isi nya akan hancur lebur dan binasa. Kejadian ini di sebut hari kiamat.
b.      Yaum al-Ba’as wa al Hasyr (hari kebangkitan dan pengumpulan)
c.       Yaum al-Ardh (hari pertunjukan)
d.      Yaum al-Hisab (hari perhitungan)
e.       Yaum al-Jaza’ (hari pembalasan)
Serga dan neraka termasuk hal ghaib yang mana pengetahuan manusia hanyalah sebatas apa yang di terangkan dari nash al-Qur’an maupun Hadis.
Kekal atau tidaknya siksa neraka seseorang tergantung kepada kehendak Allah semata. Yang maha adil dan teliti dan tidak mungkin mendzalimi hamba-Nya.


Rabu, 29 Juni 2016

latar belakang munculnya aliran asy'ariyah dan mu'tazilah



                                            ILMU KALAM                
“Hasil Resume Sejarah lahirnya dan Ajaran-Ajaran Aliran Mu’tazilah Dan Asy’ariyah”

Dosen Pengampu : Drs. H.Ahmad Qodim Suseno M.SI

Di Susun oleh:
Rohmatul Kamalia (31501502278)


FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
TAHUN 2015/2016


LATAR BELAKANG MUNCULNYA ALIRAN MU’TAZILAH DAN AS’ARIYAH

A.    ALIRAN MU’TAZILAH
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya.
Golongan kedua (selanjutnya di sebut mu’tazilah II) muncul sebagai respons persoalan teologis yang berkembang di kalangan khawarij dan murji’ah karena persoalan tahkim. Golongan mu’tazilah  ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan khawarij dan murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Golongan mu’tazilah di kenal juga dengan nama-nam lain, seperti ahl al-adl yang berati golongan yang mempertahankan keadilan tuhan dan ahl at-tawhid wa al-‘adl yang berati golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan tuhan. Adapun lawan mu’tazilah memberi nama golongan ini dengan al qodariyah dengan alasan mereka menganut paham free will and free act, yaitu bahwa manusia bebas berkehendak dan bebas berbuat, di namakan juga wa’diyyah karena mereka berpendapat bahwa ancaman tuhan itu pasti akan menimpa orang-orang yang tidak taat akan hukum-hukum tuhan.
Nama mu’tazilah sendiri bukan ciptaan orang-prang mu’tazilah sendiri, tapi diberikan oleh orang-orng lain. Orang-orang mu’tazialh sendiri menamakan dirinya”ahli keadilan dan keesaan” (ahlul adl wat tauhid). Nama mu’tazilah di berikan karena:
a.       Orang-orang mu’tazilah menyalahi pendapat sebagian besar ummat, karena mereka(orang-orang mu’tazilah) mengatakan bahwa orang fasik,yaitu orang-orang ayang melakukan dosa besar, tidak mumin tdak pula kafir.
b.       Wasil bin ata’, pendiri alira mu’tazilah, berbeda pendapat dengan gurunya, yaitu hasan al basri, dalam soal tersebut di atas, yang karenanya ia memisahkan diri dari pelajaran yang di adakan gurunya dan berdiri sendiri, kemudian mendapat pengikut banyak. Kemudian hasan al-basri berkata :” wasil telah memisahkan diri dari kami”. Sejak saat itu mak wasil dan teman-temannya disebut” golongan yang memisahkan diri” (muktazilah).
Kaum mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoala-persoalan teologi yang lebih mendalam dan ber sifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang di bawa oleh kaum khawarij dan murjia’h dalam pembahasan, mereka bayak mengunakan akal sehinga mereka mendapat nama “kaum rasional islam “.












B.     AJARAN- AJARAN MUKTAZILLAH
1.      Tauhid
Tauhid adalah dasar ajaran islam yang paling utama. Sebenarnya tauhid ini bukan monopoli mu’tazilah saja, tetapi ia menjadi milik setiap orang islam. Hanya saja mu’tazilah mempunyai tafsir yang khusus dan mereka mempertahankannya, sehingga mereka menamakan dirinya ahlu asli wat tauhid.
Menurutnya, tuhan itu esa, tidak ada yang mampu menyamainya, bukan jisim, bukan jauhar, bukan, ‘aradl, tidak berlaku masa padanya, tidak mungkin mengambil ruang atau tempat, tidak bisa disifati dengan sifat yang ada pada makhluk, tidak terbatas, tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak dapat dicapai dengan panca indera, tidak bisa dilihat dengan mata kepala tidak bisa digambarkan dengan akal fikiran, tuhan maha mengetahui, berkuasa dan hidup, tetapi tidak seperti orang yang mengetahui,orang yang berkuasa dan orang yang hidup. Tidak ada yang menolongnya dalam menciptakan apa yang diciptakannya dan tidak membuat makhluk karena contoh yang telah ada sebelumnya.

2.      Al adl (adil)
Keadilan berarti meletakkan tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatannya, tuhan tidak menghendaki keburukan,tidak menciptakan perbuatan manusia, manusia bisa mengerjakan perintah-perintahnya dan meninggalkan larangan-larangannya. Karena kekuasaan yang dijadikan tuhan pada diri manusia, tuhan tidak memerintahkan kecuali apa yang dilarangnya. Tuhan hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahnya dan lepas diri dari keburukan yang dilarangnya. Dengan dasar keadilan ini, mu’tazilah menolak golongan djabariyah yang mengatakan bahwa manusia dalam segala perbuatannya tidak mempunyai kebebasan, manusia dalam keterpaksaan. Jadi ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan dua hal yaitu,perbuatan manusia serta berbuat baik dan terbaik.
3.      Janji dan ancaman
Tuhan berjanji akan memberi pahala dan mengancam akan menjatuhkan siksaan, pasti dilaksanakan, karena tuhan suadah menjanjikan demikian. Siapa yang berbuat baik maka akan dibalas dengan kebaikan dan sebaliknya mereka yang berbuat kejahatan akan dibalas dengan kejahatan pula. Tidak ada ampunan terhadap dosa besar tanpa taubat,sama halnya tidak mungkin orang yang berbuat baik yang tidak menerima pahala. Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.

4.      Tempat diantara dua tempat
Washil bin atho’ mengatakan bahwa orang yang berdosa besar selain musyrik itu tidak mukmin dan tidak pula kafir,tetapi fasik. Fasik sendiri terletak antara iman dan kafir. Jalan tengah ini diambilnya dari:
1.      Ayat-ayat al-qur’an dan hadis-hadis yang menganjurkan kita mengambil jalan tengah dalam segala sesuatau.
2.      Pikiran-pikiran aristoteles yang mengatakan bahwa keutamaan ialah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan.
3.      Plato yang mengatakan bahwa ada suatu tempat diantara baik dan buruk.

Golongan mu’tazilah membagi maksiat menjadi 2 bagian, yaitu besar dan kecil. Maksiat besar dibagi menjadi dua yaitu:
1.      Yang merusak dasar agama, yaitu syirik (mempersekutukan tuhan) dan orang yang mengerjakannya menjadi kafir.
2.      Yang tidak merusak dasar agama, dan orang yang mengerjakannya bukan lagi orang mukmin, karena ia melanggar agama, juga tidak menjadi kafir, karena ia masih mengucapkan syahadat. Karenanya ia menjadi fasik.

5.      Amar ma’ruf nahi munkar
Prinsip ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan mengajak pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran.
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan taklif dan lapangan fiqih daripada lapangan tauhid. Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang menerangkan tentang masalah amar ma’ruf nahi munkar, antara lain pada surat ali imran ayat 104 dan surat luqman ayat 17. Prinsip ini harus dijalankan oleh setiap orang islam untuk menyiarkan agam dan mengambil bagian dari tugas ini.
Sekitar dua abad lamanya ajaran-ajaran mu’tazilah ini berpengaruh, karena diikuti atau di dukung oleh penguasa waktu itu. Masalah-masalah yang diperdebatkan antara lain:
1.      Sifat-sifat allah itu ada atau tidak.
2.      Baik dan buruk itu ditetapkan berdasarkan syara’atau akal pikiran.
3.      Orang yang berdosa  besar akan kekal di neraka atau tidak.
4.      Al-qur’an itu makhluk atau bukan.
5.      Perbuatan manusia itu dijadikannya sendiri atau dijadikan oleh allah.
6.      Allah itu bisa dilihat di akhirat nanti atau tidak
7.      Allah itu qadim atau hadis.
8.      Allah wajib membuat yang baik (shahih) dan yang lebih shahih (ashlah).

A.   ALIRAN ASY’ARIYAH

1.      SEJARAH SINGKAT
Pendiri aliran as’ariyah bernama abul hasan ali bin ismail al-asyari, keturunan dari abu musa al-asy’ari, sala seorang perantara dalam sengketa antara ali dan mu’awiyah. Al-asyari lahir pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M. Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang mu’tazilah terkenal, yaitu al-jubai, ia mempelajari aliran-aliran mu’taziah dan mendalaminya. Aliran ini di ikutinya terus sampai berusia 40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya di gunakan untuk mengarang buku-bku kemu’tazilahan.
Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama 15 hari, kemudian pergi ke masjid basrah. Di depan orang banyak ia menyatakan bahwa al-qur’an adalah mahluk, tuhan tidak dapat di lihat mata kepala, perbuatan buruk manusia sendiri yang memperbuatnya (semua aliran mu’tazilah).kemudian ia mengatakan :”saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat tersebut,saya harus menolak paham orang-orang mu’tazilah da menunjukkan keburukan dan kelemahanya.mulai pada saat itu beliau meninggalkan aliran mu’tazilah yang selama ini di anutnya. Sebab utama ia meninggalkan aliran mu’tazilah ialah adanya perpecahan yang di lakukan kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka kalau tidak segera di ahiri. Sebagai seorang muslim yang sangat gairah terhadap keutuhan kaum muslimin, ia sangat mengkhawatirkan keutuhan al-qur’an dan hadis menjadi korban paham-paham kaum mu’tazilah. Yang menurut pendapatnya tidak dapat di benarkan, karena di dasarkan atas pemujaan akal fikiran sebagaimana juga di khawtirkan menjadi korban sikap ahli hadis anthropomorphis yang hanya memeganginas-nas dengan meninggalkan jiwanya dan hampir-hampir menyeret islam kepada kelemahan, kebekuan yang tidak dapat di benarkan agama. Al-asy’ari karenanya mengambil jalan tengah antara golonga rasionalis dan golongan tekstualis dan ternyata jalan tersebut dapat di terima oleh mayoritas kaum muslimin.

Ketidak-puasan Al-Asy’ari terhadap aliran Mu’tazilah di antaranya adalah :
1)      Karena adanya keragu-raguan dalam diri Al-Asy’ari yang mendorongnya untuk keluar dari paham Mu’tazilah. Menurut Ahmad Mahmud Subhi, keraguan itu timbul karena ia menganut madzhab Syafi’i yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mu’tazilah, misalnya syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Sedangkan menurut paham Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an itu bukan qadim akan tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan dan Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat dilihat dengan mata.
2)      Inti ajaran faham Mu`tazilah adalah dasar keyakinan harus bersumber kepada suatu yang qath`i dan sesuatu yang qath`i harus sesuatu yang masuk akal (rasional). Itulah sebabnya maka kaum Mu`tazilah menolak ajaran al Qur`an apalagi as-Sunnah yang tidak sesuai dengan akal (tidak rasional). Sebagaimana penolakan terhadap Mu`jizat, para nabi, adanya malaikat, jin dan tidak percaya adanya takdir. Mereka berpendapat bahwa sunnatullah tidak mungkin dapat berubah, sesuai dengan firman Allah, ”Tidak akan ada perubahan dalam sunnatullah” (Al Ahzab:62; lihat juga Fathir:43 dan Al Fath:23). Itulah sebabnya mereka tidak percaya adanya mu`jizat, yang dianggapnya tidak rasional. Menurut mereka bila benar ada Mu`jizat berarti Allah telah melangar sunnah-Nya sendiri.

2.    PEMIKIRAN-PEMIKIRAN AL-ASY’ARI PADA KONSEP AQIDAH

Ada tiga periode dalam tata kehidupan Al-Asy’ari yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya  dalam  masalah  aqidah.
a.       PeriodePertama
 Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk aqidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dankelebihannya.
b.      Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran aqidah Muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:a) Al-Hayah (hidup) b) Al-Ilmu (ilmu) b) Al-Iradah (berkehendak) c) Al-Qudrah (berketetapan) d) As-Sama’ (mendengar) e) Al-Bashar (melihat) f) Al-Kalam (berbicara). Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta’wilkannya.
c.       Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta’thil, tabdil, tamtsil dan tahrif. Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan, a) takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah, b) ta’thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki, c) tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu, d) tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lainnya. (Rudi Arlan Al-farisi, Ilmu Kalam, 1993)
Pada periode ini beliau menulis kitabnya “Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah.” Di dalamnya beliau merinci aqidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus judul.